Penerapan “ideologi” emansipasi dalam kehidupan modern saat ini, tanpa disadari oleh banyak kalangan, telah menimbulkan dampak-dampak buruk yang luas dan merata, dan telah “memakan” banyak korban di tengah kehidupan. Tulisan sederhana ini mengajak kita untuk merenungkan ekses-ekses buruk emansipasi yang kebablasan itu, yang selama ini sering kurang disadari, bahkan oleh sebagian kita, para aktivis dakwah.
Secara esensial, fikroh emansipasi bertentangan dengan Islam. Itu sudah jelas. Emansipasi didasarkan pada prinsip penyamaan dan pencampuran antara perempuan dan laki-laki. Sedangkan Islam sebaliknya, didasarkan pada kaidah pembedaan dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Jika penganut emansipasi mengatakan: “Perempuan itu sama dengan laki-laki”, maka pendakwah Islam menjawab dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan tidaklah laki-laki itu sama seperti perempuan” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 36).
Diantara bentuk-bentuk penerapan emansipasi yang merusak ialah meratanya fenomena kaum perempuan berkiprah di wilayah-wilayah publik dan bidang-bidang kehidupan umum secara bebas dan terbuka, berlomba dan berebut posisi dengan kaum pria, tanpa adanya pembatasan, pembedaan, pembagian dan pemisahan antara keduanya. Semua wilayah boleh dan harus dimasuki. Semua bidang boleh dan harus diambil. Dan semua posisi boleh dan harus direbut untuk ditempati oleh kaum perempuan. Itulah doktrin emansipasi. Dan akibatnya bisa kita lihat, semuanya jadi korban: mulai dari kaum perempuan sendiri, kaum laki-laki, keluarga, masyarakat, kehidupan dan semuanya!
Pertama-tama, justru kaum perempuanlah yang menjadi korban pertama dan utama dari virus emansipasi, meskipun banyak diantara mereka yang tidak menyadari hal itu. Pertama, mereka mengalami beragam bentuk eksploitasi dan pelecehan, khususnya eksploitasi dan pelecehan seksual, yang tidak mungkin terhindarkan ketika kaum perempuan harus berada dalam kondisi-kondisi, situasi-situasi dan wilayah-wilayah yang memaksa mereka – sesuai tuntutan emansipasi – untuk selalu dengan bebas berhubungan, berhadapan, bersinggungan, dan bercampur baur dengan kaum laki-laki. Dan fakta serta realita di lapangan kehidupan, dalam konteks ini, lebih dahsyat dan lebih memiriskan daripada cerita yang mampu kita buat untuk menggambarkannya.
Kedua, mereka harus kehilangan fitrah kewanitaan mereka, sebagian atau semuanya, karena dipaksa “menjadi laki-laki” (bersifat, berkarakter dan berperilaku seperti laki-laki) sebagai konsekuensi dan tuntutan dari terjunnya mereka di “bidangnya laki-laki”. Dan akibat-akibat buruk dari kondisi ini tentu banyak sekali, baik bagi kaum perempuan sendiri, keluarga, masyarakat maupun kehidupan secara umum.
Ketiga, mereka mengalami kelelahan fisik dan psikis yang luar biasa, karena harus memikul beban ganda, di rumah dan di luar rumah, padahal semestinya “pikul-memikul” bukanlah spesialisasi perempuan. Ditambah lagi di luar rumah, tidak jarang mereka harus “terjun bebas” di tengah belantara kehidupan yang liar, keras, kasar dan ganas, dimana fitrah mereka yang lemah lembut pada hakekatnya tidak dicipta dan tidak disiapkan untuk itu.
Korban berikutnya adalah kaum laki-laki yang juga mengalami beragam kerugian dan pengaruh buruk. Pertama, semakin dahsyat dan meluasnya jenis fitnah dan godaan terberat dan paling berbahaya yang harus dihadapi oleh kaum laki-laki dimana-mana, yakni fitnah dan godaan yang bersumber dari kaum perempuan, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Muttafaq ‘alaih). Ini terjadi karena dimanapun dan kemanapun mereka, akan selalu bertemu dengan kaum perempuan. Dan ketika laki-laki bertemu perempuan, maka yang ada pastilah potensi bahaya “gangguan arus pendek”.
Kedua, karena banyaknya bidang dan posisi laki-laki yang “direbut” oleh perempuan, sesuai tuntutan emansipasi, maka pengangguran – dengan segala ekses buruknya – di kalangan kaum laki-laki pun semakin meluas.
Ketiga, semakin banyak para suami yang “kehilangan” istri, karena waktu, tenaga dan energi istri telah habis di luar rumah. Akibatnya, banyak istri yang – dipaksa keadaan – jadi “jual mahal” terhadap suaminya. Padahal kondisi ini sangat berbahaya, karena di luar rumah sang suami biasa “disuguhi” beragam obralan atau bahkan gratisan yang lebih menarik daripada istrinya! Bahkan seringkali saat pulang, banyak suami sekarang yang tidak mendapati istrinya di rumah. Padahal setiap suami yang “sehat” mesti menginginkan istrinya berada di rumah untuk menyambutnya setiap kali ia pulang. Belum lagi akibat buruk lain yang berupa fenomena melemahnya ketaatan para istri modern saat ini pada suami-suami mereka, karena merasa sudah bisa mandiri, sehingga tidak perlu bergantung kepada suami lagi. Dan ini juga merupakan sumber bahaya besar dalam hubungan suami istri.
Lalu korban berikutnya lagi adalah keluarga. Banyak sekali rumah tangga yang retak dan bahkan berantakan akibat fitnah-fitnah emansipasi yang sebagiannya telah digambarkan diatas. Disamping itu banyak rumah keluarga modern sekarang yang berada dalam suasana lengang, hambar dan tidak bergairah karena “kehilangan” ratunya yang, akibat tuntutan emansipasi, lebih banyak berada di luar “keratuan”nya (baca: rumahnya). Anak-anak pun banyak yang telah “kehilangan” ibu mereka. Padahal posisi dan peran seorang perempuan sebagai ratu dalam rumah tangganya, sebagai ibu bagi anak-anaknya, apalagi sebagai istri yang benar-benar istri bagi suaminya, tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun.
sumber : http://vicusss.blogspot.com/2008/11/emansipasi-itu_26.html